Selasa, 17 Februari 2009

KANDUNGAN CERITA HONOCOROKO

KANDUNGAN CERITA HONOCOROKO
(Penjaga dan Pembawa Pesan yang Menjadi Korban)
Oleh : Kunarso *)
KANDUNGAN cerita dalam kaitan nama Aksara Jawa yang sering disebut sebagai “HONOCOROKO”, memiliki makna yang bernilai tinggi, mengingatkan kita semua untuk selalu membangun dan memelihara komunikasi agar terhindar dari salah persepsi dalam memberi, menjaga dan membawa pesan sehingga dapat dicegah dan dihindari adanya pertengkaran dan permusuhan yang dapat merugikan berbagai pihak.
Nama Honocoroko sendiri diambil dari baris pertama dalam deretan Aksara Jawa, yang lengkapnya adalah sebagai berikut :

HO NO CO RO KO
DO TO SO WO LO
PO DHO JO YO NYO
MO GO BO TO NGO

Dua puluh Aksara Jawa yang tersusun dalam empat baris itu dalam sejarahnya memiliki muatan cerita :
Ono Caroko = ada utusan (abdi setia)
Doto Sawolo = saling berseteru
Podho Joyonyo = sama-sama sakti
Mogo Bothongo=Keduanya jadi bangkai

Dalam cerita, adalah seorang Satria namanya Ajisaka yang tinggal di sebuah pulau terpencil bersama dua orang abdi setianya, yaitu Dora dan Sembodo. Pada suatu hari Ajisaka bertekad untuk memperbaiki hidupnya dengan hijrah pergi ke ibukota kerajaan. Dora diajak ikut, sedangkan Sembodo tetap ditinggal di pulau dengan dititipi sebuah keris. Ajisaka berpesan agar keris tersebut dijaga dan disimpan, jangan sampai diberikan kepada orang lain. Sebagai abdi yang setia, maka pesan itupun diterima dan disanggupinya dengan tekad akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian setelah sekian lama, berbagai liku-liku perjalanan hidup dilaluinya, Ajisaka sukses menjadi Raja. Ketika itu, Ajisaka memerasa perlu untuk mengambil kerisnya, maka diutuslah Dora untuk menemui Sembodo guna meminta kembali keris yang dititipkan.Apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar dugaan, kedua abdi yang setia, thaat dan sangat hormat itu merasa berada pada posisi yang berseberangan. Masing-masing abdi tidak ingin melanggar dan mengabaikan pesan Ajisaka. Sulitnya, kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk berkomunikasi kembali sehingga masing-masing tetap berpegang teguh pada pesan awal yang diterimanya.Ketika Dora datang menyampaikan pesan Ajisaka yang mengutusnya untuk mengambil keris, maka Sembodo tidak mau menyerahkan keris tersebut. Sikap ini adalah sesuai dengan pesan yang diterima sebelumnya. Kedua Abdi setia itupun saling bersikukuh melaksanakan pesan Ajisaka, yang satu tidak mau memberikan keris yang dititipkan Ajisaka kepadanya, sementara itu yang satu lagi bertekat tidak akan kembali kepada Ajisaka yang kini menjadi Raja sebelum keris dibawa serta.Pertengkaranpun terjadi tak terhindarkan lagi. Kedua abdi saling memperebutkan keris dengan mengeluarkan tenaga, kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya untuk merebut dan membela diri. Kekuatan keduanya berimbang, tidak ada yang mau mengalah dan akhirnya keduanyapun jadi korban, tewas menjadi bangkai tertusuk keris.Adapun pelajaran berharga dari cerita yang penuh makna itu adalah betapa penting dan perlunya membangun serta memelihara komunikasi antar berbagai pihak sejak dini secara rutin maupun berkala, terus-menerus dan tidak terhenti.Lebih-lebih pada era modern seperti sekarang ini, ketika alat komonikasi sudah semakin canggih dan hampir tak terhalangi, sungguh amat sayang jika masih ada pihak yang belum paham, tidak mengerti dan tidak mau belajar teknologi informasi.
Penegakan disiplin kehadiran pegawai yang belakangan ini menggunakan alat deteksi sidik jari sebagai perekam data kehadiran pegawai, tidak mustahil pada saatnya nanti dapat menimbulkan perbedaan persepsi. Apalagi jika petugas yang menangani kurang memahami makna hakiki dari penggunaan alat pendeteksi yang masih perlu dikonformasi dengan fakta sebenarnya yang terjadi. Bisa jadi, ada pegawai yang pada suatu hari sudah hadir dan bekerja tetapi karena sesuatu hal baik karena lupa atau karena ada hal lain tidak atau terlambat menempelkan jari. Jika hanya mengandalkan data mati dan tidak disertai komunikasi, maka keputusan salah akan dapat terjadi, yaitu memotong uang insentif pegawai yang dianggapnya mangkir atau terlambat tidak permisi.
Begitu pula, ketika Gubernur Kaltim menaruh perhatian besar dalam penegakkan hukum berkaitan dengan pemberantasan korupsi, bersamaan dengan itu juga menghendaki adanya suasana kondusif bagi pegawai dalam melaksanakan tugas sehari-hari, maka dibentuklah KORMONEV (Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi). Wakil Gubernur sebagai ketua Kormonev dengan beberapa anggotanya bertugas untuk mengawasi, mencermati, meneliti, mendalami semua laporan yang masuk terkait korupsi. Laporan akan dievaluasi, jika memang ada bukti kuat maka akan ditindak lanjuti. Apabila terbatas pada administrasi akan ditindak lanjuti Bawasprov, sedangkan yang memang benar ada tindak pidana maka ditindak lanjuti oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan atau KPK. Gubernur berpesan agar pegawai yang dipanggil KPK, Kejaksaan atau Polisi mendapatkan ijin dari Gubernur. Yang diperlukan kemudian adalah kejelasan aturan agar tidak terjadi salah persepsi bagi aparat pelaksananya. Intinya, komunikasi perlu diperjelas, terus berlanjut, tidak terhenti.
InsyaAllah dengan komunikasi yang terus berlanjut dipelihara dan diperbaharui, dapat dicegah jatuhnya korban yang merugikan berbagai pihak, baik pemberi, penjaga, penerima dan pembawa pesan, termasuk aparat penegak hukum yang mendapat pesan dan bertugas mengamankan pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

*) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. http://loabakungceriablogspot.com