ALHAMDULILLAH, Acara
Ceramah & Konsultasi tentang Waris Menurut Tuntunan Islam telah
dilaksanakan di Masjid Jami' Ar-Rasyidin Jl. Jakarta Kelurahan Loa Bakung
Samarinda, pada hari Ahad tanggal 14 Jumadil Awal 1435 Hijriyah = 16 Maret 2014
Miladiyah dimulai dengan Shalat Subuh Berjamaah. Dalam ceramahnya Ustadz Tamim menyampaikan
tentang betapa pentingnya ilmu hukum waris faroidh, sebagai berikut :
Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah
mengubah hukumwaris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur
hubungankekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut
atasharta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat
Arabketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali
wanita darikalangan elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.Islam
merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiapahli
waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipundemikian,
sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadipenyebab timbulnya
keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karenakeserakahan dan
ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan olehkekurangtahuan ahli
waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.Kekurangpedulian umat Islam
terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kitapungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah
mengisyaratkannya: "Betapa banyakmanusia sekarang mengabaikan ilmu faraid."
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang, dan
pelajarilah ilmu faraidhdan ajarkan kepada orang-orang. Karena aku adalah orang
yang bakal direnggut (mati),sedang ilmu itu bakal diangkat (hilang).
Hampir-hampir saja ada dua orang yang bertengkar tentang pembagian harta
warisan, tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mampumemberitahukan
kepada mereka.”(H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni
Kalam Allah dalam Al-Qur’an :
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu.Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anakperempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagimereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan ituseorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yangmeninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyaianak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapatseperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiatyang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(Tentang) orang tuamu dananak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat(banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.SesungguhnyaAllah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu
itu mempunyai anak,maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudahdipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidakmempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperolehseperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yangkamu buat
atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baiklaki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan
ayah dan tidakmeninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing darikedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itulebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudahdipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengantidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itusebagai) syariat
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagiMaha
Penyantun." (an-Nisa': 12)
Telah masyhur dalam sejarah
permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi
harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan
oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan
datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru
saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian
berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah
benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah
begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan
kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan
hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan
kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa':
7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua
jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya
dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan
mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan
keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang
kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian
mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela,
yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan
nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara
kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat
tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak
waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat
tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa
bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita
jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga
sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan
bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan
keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh
ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di
antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada
siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa
saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar
dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk
mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan
kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada
istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan
sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk
memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit
(termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum
laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian
banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki
--dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut
membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak
mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga
harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah
menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian
kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan
keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang
digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru
lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.
Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum
laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris,
tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum
wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan
dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya.
Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam
kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan
kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..."
(al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan
tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam
menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang
dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua
kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai
dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut
meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan
syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan
mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut
telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar
dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua
pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian,
uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah
menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia
telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari
calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak
perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta
warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu,
sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah
rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam
kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah
istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak
perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di
antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan
lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan
dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada hak kaum wanita.
Selesai
ceramah, beberapa jama'ah berkonsultasi
berkatian dengan masalah waris yang dialami keluarganya. beberapa peserta yang
berminat juga meminta untuk mendapatkan
copy file program penghitungan pembagian waris dengan menyimpan di flasdisk.
https://www.facebook.com/azkuna/media_set?set=a.745732872118635.1073741849.100000457866691&type=3